Pendidikan anak usia dini (PAUD) melibatkan lebih dari sekadar tes kecerdasan akademis. Pembelajaran ini juga mencakup kemampuan pemecahan masalah dan penciptaan produk yang bernilai budaya. Model pembelajaran ini membutuhkan kreativitas baik dari pendidik maupun peserta didik.

Alghamdi (2023) mengeksplorasi pandangan budaya para guru prasekolah di Arab Saudi mengenai pengajaran anak-anak di lingkungan pendidikan anak usia dini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis, yang melibatkan wawancara kelompok fokus semiterstruktur dengan 10 guru prasekolah dari prasekolah umum di wilayah barat Arab Saudi. Penelitian ini mengidentifikasi dua tema utama dalam narasi para guru:

  1. Instruksi berbasis agama: para guru melaporkan bahwa mereka memasukkan nilai-nilai dan praktik-praktik keagamaan ke dalam metode pengajaran mereka, yang mencerminkan penekanan budaya yang kuat terhadap Islam dalam masyarakat Arab Saudi.
  2. Isu-isu terkait gender: para peserta mendiskusikan bagaimana peran dan ekspektasi gender memengaruhi praktik pengajaran dan interaksi mereka dengan siswa, menyoroti dampak budaya yang signifikan terhadap dinamika gender di dalam kelas.

Temuan menunjukkan bahwa identitas budaya para guru, termasuk kewarganegaraan, jenis kelamin, keyakinan agama, dan sejarah, secara signifikan mempengaruhi peran mereka sebagai pendidik. Studi ini menggarisbawahi pentingnya memahami latar belakang budaya dalam membentuk pendidikan dan peran pendidik dalam membentuk generasi masa depan.

Disisi lain, Ghaida (2024) berbagi pengalamannya dalam membuat rencana pembelajaran untuk sebuah prasekolah di United States yang mengikuti budaya “art as a way of learning” (AWL). Ghaida memasukkan mewarnai sebagai salah satu kegiatan, namun rencana mereka ditolak karena dianggap “cookie cutter,” yang berarti tidak memungkinkan kreativitas atau preferensi individu.

Mereka menjelaskan bahwa mewarnai dalam garis dan pola yang sudah ditentukan dapat membatasi kreativitas dan mengurangi keterlibatan. Hal ini juga membatasi kesempatan bagi anak-anak untuk bereksperimen dengan warna, bentuk, dan desain. Selain itu, memaksa anak-anak untuk mengikuti pedoman yang ketat dapat menghilangkan kesenangan mewarnai, yang seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan. Mereka menekankan bahwa setiap anak itu unik dan pendekatan satu ukuran untuk semua mengabaikan perbedaan dan preferensi individu, yang menyebabkan kurangnya kesenangan dan keterlibatan.

Identitas budaya guru sangat mempengaruhi peran mereka sebagai pendidik, sehingga menekankan pentingnya memahami latar belakang budaya dalam membentuk pendidikan dan masa depan siswa. Selain itu, pendekatan satu ukuran untuk semua untuk rencana pelajaran dapat membatasi kreativitas dan preferensi individu, sehingga menghambat keterlibatan dan kesenangan anak-anak dalam kegiatan seperti mewarnai.

Referensi:

Alghamdi, A. A. (2023). Culture in early childhood education: Insights into Saudi preschool teaching. Journal of Education and Learning17(3), 431–440. https://doi.org/10.11591/edulearn.v17i3.20804

Roshuna, G. (2024). In Instagram. https://www.instagram.com/reel/C8hsfSjBp7h/?igsh=MTRvNnJ6N3Nucnpueg%3D%3D

Redaksi: I. Busthomi